Friday, July 26, 2013

18 July 2013 No Comment
Tanya:
Assalammu’alaikum Wr. Wb.
Saya mau bertanya apakah benar doa buka puasa pada umumnya (Allahumma laka shumtu, wabika aamantu, ….) bukan yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW dengan kata lain doa tersebut berasal dari hadist yang dha’if dan palsu?
Doa yang dicontohkan oleh Nabi adalah sebagai berikut:
Dzahabazh zhoma’u wabtallatil ‘uruuqu wa tsabatal ajru insyaa Allaah
Demikian saya sampaikan, mohon penjelasannya.
Wassalammualaikum Wr Wb
[Nining]
Jawab:
Wa’alaikumussalam, wr. wb.
Memang tidak sedikit pakar hadis yang menilai bahwa redaksi doa buka puasa yang sudah cukup populer di masyarakat kita itu berasal dari hadis yang lemah. Ada beberapa versi redaksi doa itu yang berasal dari sumber periwayatan hadis yang berbeda, dan masing-masing riwayat dinilai tidak dapat menguatkan riwayat yang lain.
Salah satunya adalah yang berbunyi Allâhumma laka shumtu wa ‘alâ rizqika afthartu (Ya Allah, untuk-Mu aku berpuasa, dan berkat rezeki-Mu aku berbuka). Redaksi seperti ini kita temukan dalam riwayat Abû Dâwûd (bisa kita periksa dalam Sunan Abî Dâwûd). Ada redaksi versi lain yang diriwayatkan oleh Ath-Thabarani, yaitu “Apabila Nabi saw. berbuka puasa, beliau mengucapkan Bismillâhi Allâhumma laka shumtu wa ‘alâ rizqika afthartu (Dengan nama Allah. Ya Allah, untuk-Mu aku berpuasa, dan berkat rezeki-Mu aku berbuka)”. Ini dapat kita temukan dalam buku al-Jâmi‘ ash-Shaghîr.
Ada lagi redaksi lain, juga diriwayatkan antara lain oleh Ath-Thabarani dari jalur yang berbeda, yaitu Allâhumma laka shumnâ, wa ‘alâ rizqika aftharnâ. Allâhumma taqabbal minnâ innaka anta as-Samî‘ al-‘Alîm (Ya Allah! Untuk-Mu kami berpuasa dan berkat rezeki-Mu kami berbuka. Ya Allah, terimalah [amal ibadah] dari kami, sesungguhnya Engkau Maha Mendengar, Maha Mengetahui). Yang ini juga dinilai lemah oleh Syaikh Al-Albani.
Yang dinilai cukup kuat –hasan– adalah redaksi yang berbunyi Dzahaba azh-zhama’u wa-b-tallat al-‘urûqu wa tsabata al-ajru in syâ’a Allâh (Rasa haus telah hilang, urat-urat/ tenggorokan sudah basah, dan pahala pun telah mantap dengan seizin Allah). Redaksi ini juga diriwayatkan oleh Abû Dâwûd dan dapat kita temukan dalam Sunan-nya. Menurut Ibn Hajar, menukil pendapat Ad-Dâruquthnî, isnâd riwayat Abû Dâwûd yang ini dinilai hasan.
Persoalannya sekarang adalah apakah berdoa dengan redaksi yang bersumber dari hadis lemah (dha‘îf) itu tidak boleh? Dengan kata lain, apakah pada setiap kali kita berdoa kita harus menggunakan redaksi yang diriwayatkan bersumber dari Nabi saw. secara shahih? Pada kenyataannya, ulama-ulama tidak satu kata dalam hal ini. Ada yang membolehkan, ada yang melarang. Jangankan berdoa dengan redaksi yang “diduga” berasal dari Nabi saw., melalui periwayatan hadis yang dinilai tidak kuat seperti di atas, berdoa dengan redaksi buatan sendiri pun banyak yang membolehkan. Bahkan dengan bahasa selain bahasa Arab juga boleh.
Walau demikian, setelah kita mengetahui bahwa redaksi A lemah dan redaksi B cukup kuat, tentu saja memilih yang kuat adalah tindakan yang baik.
Demikian, wallahu a’lam.
[Muhammad Arifin, MA - Dewan Pakar Pusat Studi Al-Qur'an]