Thursday, August 1, 2013


Santa Clara, California – Laporan penelitian Pew Research Center berjudul The World’s Muslims: Religion, Politics, and Society yang diterbitkan bulan lalu membuat heboh media Indonesia karena menyimpulkan bahwa 72 persen Muslim Indonesia, termasuk perempuan, lebih senang dengan penerapan syariat Islam. Penelitian ini menyurvei 1.880 orang di 19 provinsi.
Lalu, apa yang ditunjukkan survei ini?
Fakta bahwa sebagian besar warga Indonesia menginginkan penerapan syariat Islam tidak seharusnya menimbulkan keresahan, mengingat adanya perbedaan semantik dalam penggunaan istilah syariat di kalangan orang Indonesia. Hasil survei Pew ini tidak perlu dipandang sebagai pertanda bahwa masyarakat Indonesia setuju dengan apa yang sering kali distereotipkan sebagai sistem hukum yang menerapkan hukuman fisik yang keras (kisas), aturan busana Islam yang ketat dan meminggirkan non-Muslim.
Islam sebagai sebuah agama, sistem hukum, budaya dan gaya hidup bisa memiliki makna yang berbeda-beda bagi masing-masing orang. Definisi syaria menurut seseorang tidaklah sama dengan definisi orang lain, termasuk di kalangan para sarjana dan tokoh agama.
Istilah syariat seringkali dikaitkan dengan kesetaraan dan keadilan sosial, sebagaimana diungkapkan Amaney Jamal, penasihat khusus Pew Research dari Princeton University. Kata-kata bisa berbeda arti menurut orang yang berbeda. Syariat dalam bahasa Arab berarti “jalan”. Itu mirip dengan tao dalam bahasa Mandarin, yang juga berarti “jalan”. Namun, penggunaan kontemporer istilah syariat telah dikaitkan dengan hukum Islam, dan perkara halal-haram. Makna lain syariat berkaitan dengan keadilan sosial di kalangan orang-orang yang telah kehilangan kepercayaan terhadap pemerintah dan berbagai lembaga negara.
Singkat kata, penelitian Pew Research harus dibaca dengan penuh kehati-hatian.
Syariat Islam di Indonesia dipandang melalui lensa tertentu. Misalnya, dalam sebuah skenario dengan tafsiran ketat terhadap aturan hukum Islam, non-Muslim dipandang sebagai warga kelas dua. Namun, pengkastaan seperti itu tidak terjadi di Indonesia dan menyalahi prinsip-prinsip Deklarasi HAM PBB, yang ikut ditandatangani oleh Indonesia.
Sebagian orang mungkin menunjuk Aceh, yang memiliki otonomi khusus, sebagai contoh dari apa yang orang Indonesia pahami sebagai syariat Islam, karena Aceh mengadopsi hukum Islam yang menuntut para perempuan berjilbab selain melarang alkohol dan judi serta menegakkan zakat. Meskipun non-Muslim di Aceh tidak dikenai keharusan mengikuti hukum Islam, sebagian merasa mereka tengah ditekan untuk mengikuti hukum ini. Namun, pandangan unik Aceh tidak sesuai dengan praktik di tempat-tempat lain di Indonesia, yang lebih sinkretik dan memilih untuk tidak mengikuti model Aceh.
Menurut Asghar Ali Engineer, sarjana Islam asal India, pengelompokan-pengelompokan tertentu (seperti Muslim dan non-Muslim) itu sifatnya kontekstual dan tidak lagi valid dalam konteks modern. Dalam sebuah artikel di Kantor Berita Common Ground ia secara khusus merujuk contoh perbudakan yang akhirnya dilarang dalam Quran, sembari menegaskan bahwa konsep demokrasi dan kewarganegaraan dewasa ini tidak ada padanannya dalam Quran. Intinya, argumennya mengungkapkan bahwa konsep-konsep tertentu yang dipahami menjadi bagian dari syariat Islam memiliki masa dan tempatnya sendiri yang tidak lagi relevan dalam konteks kontemporer. Pandangan serupa digaungkan oleh banyak sarjana dan tokoh agama di seluruh dunia.
Guru besar Boston University, Robert Hefner, menyatakan dalam buku terbitan 2011, Sharia Politics: Islamic Law and Society in the Modern World (Indiana University Press), bahwa di kalangan Muslim Indonesia, dukungan terhadap syariat Islam dan demokrasi sama-sama tinggi. Survei Pew Research juga menemukan bahwa 61 persen Muslim Indonesia lebih memilih demokrasi ketimbang otoritarianisme. Karena itu, syariat Islam dalam arti hukum Islam yang keras yang diterapkan oleh rezim otoriter tidak akan terjadi. Lebih masuk akal bila syariat itu bermakna “masyarakat yang baik dan adil” (baldatun tayibatun) dalam suatu negara demokrasi.
Sebagai negara berdaulat yang telah mengadopsi Deklarasi PBB tentang HAM dan kini dipandang sebagai bintang baru di antara negara-negara G20, sulit dipercaya kalau Indonesia akan menjadi negara teokrasi otoriter.
Semestinya makin banyak orang yang terdorong untuk mengkaji sisi baik dari Islam. Perdamaian dan kasih sayang diperlukan untuk mewujudkan masyarakat yang adil, dan sepertinya inilah yang menjadi pendorong banyaknya Muslim Indonesia mendukung syariat Islam dalam jajak pendapat ini. [Jennie S. Bev]
###
* Jennie S. Bev adalah seorang penulis dan kolumnis. Ia menulis untuk “The Global Viewpoint” di Forbes Indonesia dan bagian editorial The Jakarta Post. Artikel ini ditulis untuk Kantor Berita Common Ground (CGNews).
Sumber: Kantor Berita Common Ground (CGNews), 14 Juni 2013, www.commongroundnews.org/index.php?lan=ba

0 komentar:

Post a Comment